Laman

Sabtu, 20 Desember 2014

Pendakwah

Syeikh Sa’id Hawwa dalamJundullah Thaqafatan wa Akhlaqan telah menyebutkan empat tanggung jawab yang dipikul oleh setiap individu Muslim.

Empat tanggung jawab itu adalah: pembinaan pribadi Islami; menegakkan aturan Allah di seluruh pelosok bumi; menyatukan kekuasaan politik kaum Muslimin; menuntaskan misi kemanusiaan yaitu khilafatullah fil ardhi—memastikan Islam menjadi soko guru bagi alam semesta. Itulah tugas berat yang harus diemban oleh para pendakwah. Namun sekarang banyak timbul kekeliruan persepsi dalam membedakan pendakwah dan penceramah.
Syeikh al-Bahi al-Khauly dalam Tazkirah ad Du’at menegaskan, “Pendakwah tidak sama dengan penceramah. Penceramah, tugasnya hanya berceramah. Maka pendakwah, individu yang optimis dengan pemikirannya. Tugasnya menyampaikan risalah dakwah dengan penulisan, ucapan, perbuatan, dan segala aktivitas yang diarahkan serta seluruh sarana yang dihadirkan bermanfaat untuk dakwah.”

ANTARA PESAN DAN POPULARITAS
Penceramah hanya akan tampil apabila diberi peluang di atas mimbar. Popularitas, hadirin yang membeludak dan segala aksesorisnya, tentu merupakan daya tarik tersendiri. Sementara, isi ceramah belum tentu menggambarkan hakikat keadaannya yang sebenarnya.
Sebaliknya, ruang lingkup aktivitas para pendakwah tidak terbatas. Di mana ada tempat dan peluang, di situlah risalah Islam akan disampaikan. Mereka sangat menjaga diri dari sanjungan dan popularitas. Sebab, itu akan membelokkan misi dakwahnya. Apa yang terucap di lisan, itulah yang terbit dari hatinya.
Itulah perbedaan antara pendakwah dan penceramah. Penceramah bebas mengucapkan 1001 kata mutiara, walaupun amalan dirinya jauh menyimpang dari apa yang diucapkan. Sementara bagi pendakwah, mereka harus memastikan dirinya benar-benar layak untuk menyampaikan sesuatu pesan Islami dengan merujuk kepada tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah. Firman Allah, “Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan sedang kamu melupakan diri kamu sendiri padahal kamu membaca Kitab. Tidakkah kamu berakal?” (QS Al-Baqarah [2]: 44).
Pesan dakwah yang membekas di hati adalah pesan yang keluar dari pribadi yang lisannya bersandar pada hatinya. Syeikh al-Bahi al-Khauly menegaskan, “Yang terpenting, hubungan antara juru dakwah dan sasaran dakwah adalah terhubung dengan ruh mereka. Bukan dengan seni bicara dan kelancaran tutur katanya.”
Dalam sirah para sahabat terdahulu, mereka hanya membaca beberapa potong ayat Al-Qur'an dan tidak akan menyambung bacaannya kecuali bila pesan di dalam ayat tersebut telah dilaksanakan. Ada riwayat yang dinukil dari Ibnu Umar bahwa ayahnya, Umar al-Khattab ra, mendalami dan mengamalkan surah Al-Baqarah selama 12 tahun. Sayyidina Umar kerap bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, adakah kehidupanku telah mencerminkan surah Al-Baqarah, jika belum maka aku tidak akan melanjutkan ke surah berikutnya.” Begitu juga Ibn Umar, beliau turut berusaha menjadi seorang yang faqih (paham) setiap petikan ayat surah Al-Baqarah selama 8 tahun.
Terdapat hadits riwayat Imam Bukhari yang menceritakan perihal penceramah yang “jauh panggang dari api”, arti hadits tersebut, “Dicampakkan seseorang ke dalam api neraka pada hari kiamat. Maka dia diikat seperti ikatan keledai. Dia berputar-putar seperti keledai mengikut arah ikatan tersebut. Lantas, ahli neraka yang lain mengerumuninya lalu bertanya: Mengapa kamu jadi begini? Bukankah dahulu kamu yang menyeru kami perkara kebaikan dan melarang kami dari perkara kemungkaran? Lalu dijawab: Memang aku yang menyeru kalian agar berbuat perkara kebaikan tapi aku tidak melaksanakannya, dan aku melarang kalian dari melakukan perkara kemungkaran tapi aku yang melaksanakannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar